Perang

TEMPO Minggu, 17 Maret 2013

"in the end, everybody breaks, bro. Its biology."

Agen CIA dalam film Zero Dark Thirty itu telah mengubah orang yang diinterogasinya: tahanan itu akhirnya cuma bangunan biologis. Tubuh itu dicancang pada kaki dan tangan. Sesekali ia dibaringkan seraya kepalanya dibungkus kain untuk ditenggelamkan dalam air sampai hampir tak bernapas. CIA ingin orang ini membuka celah ke persembunyian Usamah bin Ladin. Untuk itu, di ruang penyiksaan yang kumuh itu ia diformat jadi sebuah kantong yang diinjak agar dari dalamnya muncrat informasi.

Sebuah kantong yang diinjak, sebentuk benda biologis, sebuah kehidupan yang sepenuhnya bugil, la vita nuda: ia materi tanpa proteksi. Ketika orang dihilangkan harga diri, rasa malu, rasa bersalah, dan keyakinannya, ia tak diharap bisa bertahan. Everybody breaks.

Kita tahu film itu fiksi, tapi kebrutalan itu bukan. Dan sebuah fiksi, sebagaimana sebuah puisi, sering dibebani tafsir yang tak diniatkannya sendiri. Orang-orang kanan Amerika, para senator dan CIA, menuduh Zero Dark Thirty melebih-lebihkan peran penyiksaan dalam perburuan Bin Ladin, dan dengan demikian mencoreng muka Amerika. Sebaliknya orang-orang kiri menuduh sutradara Kathryn Bigelow bertindak seperti sineas Leni Riefenstahl mengagungkan Naziisme delapan dekade yang lalu. Seorang penulis terkenal memperingatkan Bigelow: kau akan dikenang sebagai "wanita pelayan penyiksaan".

Kontroversi belum berakhir. Tapi satu hal tercapai. Zero Dark Thirty dengan realisme yang mengesankan telah memaparkan bahwa "perang melawan terorisme" mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri. Para penggeraknya menyebutnya "perang yang adil", karena terorisme adalah keji. Tapi perang itu justru awal dari laku yang tak adil dan yang keji.

Ada sebuah masa ketika satu tatanan modern dalam hubungan internasional mendapatkan bentuknya. Itu di Eropa sejak 1648. Perjanjian Westfalia menghentikan perang orang Protestan vs Katolik yang meluluh-lantakkan kehidupan. Sejak itu, orientasi ruang lebih terarah, batas wilayah pun dipatok. Di situ dibangun sebuah tertib hukum. Lahir satuan hukum-dengan-ruang-hidup, Ordnung und Ortung. Sebuah Nomos, untuk memakai istilah Carl Schmitt.

Sejak itu, menurut Schmitt, perang jadi monopoli yang terjaga dari Negara. Konflik pun lebih mirip duel: sebuah "perang-yang-rancak", un guerre en forme. Ia bertolak dari pertimbangan rasional, bukan moral; ia bukan perang suci. Dengan rasionalitas pula ada aturan yang dipatuhi bersama. Lawan tak dianggap "musuh mutlak". Ia bukan Iblis, bajingan tengik, atau si barbar yang harus dimusnahkan atau ditobatkan. Ia tetap seperti "kita".

Paparan Schmitt, orang Jerman yang pro-Nazi ini, tentu saja Eropa-sentris dan terbatas; tak diceritakannya bagaimana tentara kolonial memperlakukan lawannya di Asia dan Afrika. Schmitt mengutarakannya untuk mengecam yang terjadi setelah kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I. Dalam Perjanjian Versailles, Jerman tak diajak ikut di meja perundingan. Bangsa itu diperlakukan sebagai penjahat.

Tak mengherankan Schmitt hanya menampilkan segi yang bisa memperkuat thesisnya. Ia menghapus kenyataan bahwa juga dalam "perang-yang-rancak", aturan hanya dilihat sejenak. "Seolah-olah ada aturan untuk membunuh orang," tulis Leo Tolstoi dalam novel besarnya, Perang dan Damai, ketika mengisahkan keluhan Napoleon kepada Kutusov, panglima Rusia, dalam invasi tahun 1812: pasukan Prancis menggunakan pedang, sementara pasukan Rusia tentara rakyat membalasnya dengan pemukul, "tanpa menghiraukan selera atau aturan siapa pun."

Sejarah perang yang "tanpa menghiraukan selera dan aturan siapa pun" itu, umumnya perlawanan rakyat, sama panjang dengan riwayat un guerre en forme, perang di antara tentara reguler dua negara yang bersengketa. Sejak Revolusi Amerika di abad ke-18 sampai dengan perang Afganistan di abad ini, tak ada batas jenis senjata yang dipakai, tak ada pula batas antara yang sipil dan yang militer. Semua bisa menembak. Semua bisa ditembak. Kekerasan bukan cuma urusan Negara. Korban bisa merambah ke mana-mana.

Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah dalih perang itu baik dalih kaum gerilyawan maupun lawan mereka dalam counter-insurgency yang sama-sama tak berbatas.

Saya kira ada yang penting dari thesis Schmitt: ia memujikan "perang-yang-rancak" bukan karena perang itu tak brutal. Ia memujikannya sebagai perang yang bermula ketika negara berpisah dari dalih-dalih agama: perang itu bukan perang suci. Musuh bukan makhluk terkutuk. Ini perselisihan sesama manusia.

Tapi pada 11 September 2001 sepasang gedung World Trade Center New York dihantam dua pesawat dan ribuan orang tak bersalah tewas. Bush pun menyiapkan "perang melawan ­terorisme". Maka maraklah perang yang tak jelas indikator kemenangannya, sebab tak akan ada wakil kekuasaan lawan yang akan menandatangani traktat kekalahan.

Di saat itu, orang Amerika yang marah, juga para cendekiawan mereka, memekikkan dan merumuskan "perang yang adil" sejenis perang pembalasan dari pihak yang tak merasa bersalah, yang bersih, yang ber-Tuhan. Alasan moral pun masuk kembali seperti dalam Perang Salib. Sang musuh jadi Setan. Dunia harus diubah. Amerika menirukan Taliban.

Dalam semangat "perang yang adil" ala Taliban itulah Amerika merasa berhak memutuskan untuk menganggap siapa saja yang dimusuhinya bukan manusia. Segera setelah itu ia juga merasa berhak mengabaikan hukum internasional dan dikumandangkannya satu dusta yang luar biasa dan diserbunya Irak yang sebenarnya tak sedang membahayakan dirinya.

Minggu ini dusta itu berumur 10 tahun.

Goenawan Mohamad