Tubuh


Minggu, 24 Februari 2013


Terkadang demokrasi mencemaskan karena digambarkan seperti sesosok tubuh yang tanpa kepala. Terkadang sebuah republik tampak punya sejumlah kepala yang pelan-pelan memotong kakinya sendiri.
Meskipun saya tak sepaham untuk mengiaskan struktur masyarakat sebagai "tubuh-politik", saya bisa mengerti bila orang melihat Indonesia seperti itu. Tak jarang orang mengeluh karena negeri ini punya kepala yang tak jelas: seorang presiden yang jangan-jangan tak memimpin. Setidaknya memimpin menurut petuah Machiavelli yang bagus: harus meniru singa (il leone) yang kukuh-berani melawan kawanan serigala, dan sekaligus meniru rubah (la volpe) yang tangkas berkelit dari jerat. 
Sementara itu, dengan menggunakan kiasan yang sama, Indonesia juga tampak seperti sebuah tubuh-politik dengan sederet kepala.
Saya tak tahu pernahkah keadaan ini diperhitungkan. Di kalangan gerakan prodemokrasi menjelang Reformasi 1998, rasanya tak ada yang memperkirakan dampak biaya kompetisi kekuasaan. Kini kita sadar, ini negeri 17.508 pulau dan wilayah 1.919.000 kilometer persegi yang harus ditempuh perjalanan kampanye yang panjang untuk menang, yang harus diliput cakupan media yang luas dan digerakkan ribuan organisator. 
Pada gilirannya, hanya mereka yang punya dana berlimpah yang bisa ikut. Ketika dana itu terasa tak memadai, ketika persaingan ke luar dan ke dalam partai hendak dimenangi, korupsi untuk membayar ongkos politik pun berkecamuk—dan tentu saja sembari mempergemuk perut para pemimpin. Ada yang tertangkap, ada yang tidak. 
Syahdan, sederet kepala pun muncul dari dalam gelap dan air payau: wajah dasamuka oligarki. Atau jika kita ingin gambaran yang kurang suram: partai-partai kini seperti toko pakaian. Di etalase para tauke memasang deretan manekin yang hampir mirip satu sama lain—badan yang tak punya hati dan pikiran—yang ditawarkan untuk disukai. Dan tiap saat, karena pasar makin sepi, toko itu menunggu pemodal baru. 
Pasar memang makin sepi. Oligarki dan etalasenya makin terasing dari katalisator politik yang dulu demikian kuat, terutama di "zaman pergerakan" di awal abad ke-20: dorongan kaum yang tak terdengar dan tak terlihat, mereka yang tak berbentuk. Mereka ibarat serpihan kayu yang terbuang ketika tiang dan dinding bangunan diraut agar pas. Mereka adalah tatal. 
Justru dari tatal masyarakat inilah politik bergelora dan mendapatkan artinya. Sesuatu yang baru dan berharga pun bisa tegak—mengingatkan kita akan alegori yang dipakai para wali di Jawa ketika mereka mendirikan tiang agung Masjid Demak di abad ke-15.
Mereka yang ragu-ragu akan mengatakan transformasi seperti itu mustahil. Tapi Žižek menunjukkan, dan ia benar meskipun sedikit berlebihan, bahwa politik yang sejati adalah "the art of the impossible": kiat untuk melakukan (dan menggapai) yang mustahil. Politik yang otentik justru mengubah parameter yang membatasi apa yang dianggap "mungkin" oleh tata yang ada. Para aktivisnya jauh berbeda dengan pemilik toko pakaian yang tak laku. Geraknya penuh vitalitas, meskipun di sana-sini disertai cemas dan kepedihan. 
Jaringan oligarki terus mencoba meredam vitalitas itu. Ia pertahankan kedaulatannya. Ia sisihkan tiap serpih tatal yang mengganggu. Ia cegat pendatang baru yang "tak cocok". Ia pasang ideologi "konsensus". Ia gertak ke seluruh ruang bersama bahwa konsensus perlu ada untuk merawat kodrat: sebuah tubuh-politik tak boleh dirusak antagonisme. 
Gertak itu bukan baru. Ilustrasi yang dibuat Wenceslas Hollar di Inggris pada 1668 (lihat gambar) adalah salah satunya. Di sana sebatang tubuh tampak berantakan: kepala ditebas tangan sendiri yang mengayunkan pedang; kepala itu jatuh. 
Sang penggambar jelas ingin berpesan: si tangan tak boleh melawan si kepala, apalagi meniadakannya. Hollar seorang pembela status quo. Baginya masyarakat manusia terbentuk oleh sebuah desain, bukan antagonisme. Baginya perubahan hanya mengacaukan.
Ilustrasinya tak mengakui bahwa status quo itu—yang ditegakkan dengan bangunan oligarki—sebenarnya tak turun dari langit. Ia lahir dari pergulatan dan benturan. Marx menyebutnya "perjuangan kelas"—perjuangan yang membentuk sejarah zoon politikon.
Maka kita akan sesat, atau teperdaya, atau menyembunyikan apa yang sebenarnya, jika kita melihat struktur sosial sebagai "tubuh-politik". Shakespeare pernah menunjukkan itu. 
Awal tragedi Coriolanus adalah adegan rakyat Roma yang marah. Mereka, yang kelaparan, ingin berontak menghabisi kekuasaan Jenderal Caius Martius. Tapi seorang aristokrat, Menenius Agrippa, meredam amarah itu dengan sebuah perumpamaan: sebuah negeri adalah sebatang tubuh. Dalam tubuh itu tak boleh ada kecemburuan.
Pada suatu masa, kata Menenius, para anggota tubuh memberontak. Mereka tuduh Perut menerima bagian makanan paling dulu, sementara ia tak harus mendengar, atau melihat, atau jadi kaki yang melangkah. Ia parasit. Tapi Perut punya jawab: I am the store-house and the shop/Of the whole body. Akulah gudang penyimpan dan toko seluruh tubuh.
Dengan cara itu Menenius ingin menunjukkan bahwa para penguasa—yang berada di pusat tubuh-politik—tak merebut semuanya untuk diri sendiri. 
Tapi ia keliru—atau berdusta. Coriolanus bercerita terus tentang perang, perebutan kekuasaan, dan pengkhianatan. Para jelata, tatal masyarakat, tak bersuara. Tapi mereka yang berkuasa, dalam aristokrasi atau oligarki, tak akan berhenti sampai yang lain tak berkutik lagi. 
Goenawan Mohamad