Shibuya


Minggu, 10 Februari 2013


Mungkin ini tiap hari terjadi di Tokyo: di Stasiun Shibuya, ribuan orang keluar-masuk peron atau berjalan dari gerbang barat menyeberang—dari tempat patung anjing Hachikô yang mati menunggui tuannya yang tak kunjung pulang—ke arah toserba Shibuya 109, yang membuka dengan meriah lebih dari 100 boutique. 
Anak-anak muda masih seperti dulu. Mereka tak putus-putusnya bergerak riang, riuh, mengingatkan kembali gaya gyaru gadis-gadis ABG tahun 1970-an yang mencoba melepaskan diri dari sikap jinak dan konformitas. Tapi, pada saat yang sama, mereka adalah bentuk konformitas yang baru.
Di sini hidup adalah degup siang dan malam—terutama malam. Setelah pukul 18, lampu-lampu iklan digital menegaskan bahwa yang gemebyar, yang mewah, yang meriah, adalah pertemuan antara hasrat dan kemustahilan. Kapitalisme busana menampakkan ambisinya di ratusan papan iklan dan layar DOOH dengan ukuran besar: di tubuh manusia kota, pakaian adalah pertarungan untuk menggapai satu mode yang modelnya terlampau rupawan untuk ditiru, tapi selalu ditiru. "A fashion is nothing but an induced epidemic." Saya kira George Bernard Shaw benar.
Epidemi itu terutama berkecamuk di kelimun seperti di Shibuya ini. Lebih dari setengah abad yang lalu David Riesman menulis The Lonely Crowd, tapi sampai sekarang observasinya masih kena: kalangan metropolis ini adalah orang-orang yang other-directed, "diarahkan-liyan". Bukan lagi diarahkan tradisi. Juga bukan lagi digerakkan kecenderungan diri yang terbentuk sejak kecil.
Di tempat seperti Shibuya, yang mengarahkan bukan hanya orang-orang di lingkungan yang dekat, tapi juga yang lebih "tinggi". "Liyan" itu hanya mereka kenal dari media massa dan billboard: Hiroshi Oshima atau Hoyt Richards—para model dengan nama yang berubah jadi Versace atau Hugo Boss. Mereka sangat responsif terhadap nama dan gambar macam itu. Bahkan mereka selamanya memasang radar untuk mendeteksi bagaimana di depan "liyan" yang jauh itu mereka harus mematut-matut diri. Mereka ingin selalu menangkap—dan kemudian mengikuti—selera apa yang tengah berkembang dan opini apa yang tengah dikumandangkan.
Mereka bukan orang yang hidup dalam kolektivitas dusun; mereka tak dibentuk rasa malu. Mereka juga bukan orang yang hidup di tengah kolektivitas keluarga atau agama; mereka tak dibentuk rasa bersalah. Hubungan antara orang-orang di metro­polis ini dan sekitarnya dibentuk rasa cemas.
Tapi di celah-celah cemas itu, pada orang-orang yang "diarahkan-liyan" ini sebenarnya ada sejenis petualangan. Analisis Riesman cenderung menyepelekan mereka, tapi dengan sifat kosmopolitan mereka, mereka sesungguhnya punya kebe­ranian: meniadakan batas antara dunia yang mereka kenal dan yang asing. Mereka serentak bisa ada di mana saja.
Mungkin itu sebabnya Tokyo adalah kota yang pas untuk mereka: tak ada "Timur" dan "Barat" di sini.
Di dinding Stasiun Shibuya, dalam lorong ke arah pintu masuk jurusan Keiô Inokashira, terpampang sebuah mural karya Tarô Okamoto, "Mithos Hari Esok", yang menggambarkan sesosok manusia yang dihantam bom atom. Okamoto belajar di Panthéon-Sorbonne pada tahun 1930-an di mana ia hidup dengan kaum Surealis Prancis. Mural itu semula ia buat untuk sebuah bangunan di Meksiko. Setelah 30 tahun di sana, empat tahun yang lalu karya itu dibawa ke Stasiun Shibuya: ia menegaskan sifat Tokyo yang Jepang tapi tak lagi hanya Jepang. Ia juga menunjukkan bahwa bagi kota ini, yang penting bukanlah corak satu yang padu.
"Di Tokyo," tulis Donald Ritchie, kritikus film yang telah berpuluh tahun tinggal di Jepang dan pada tahun 1999 menulis tentang Tokyo, "orang merasa… bahwa kota ini tak punya satu gaya yang tunggal." Yang ada "hanya usaha yang tak terhitung untuk mendapatkan gaya". Di kota ini, terutama bagi seorang asing yang menyu­suri lekuk-lekuknya dengan berjalan kaki, akan kelihatan "hal-hal yang dikenal dipergunakan dengan cara yang tak dikenal".
Justru dengan demikian si orang asing, menurut Ritchie, merasa bebas: ia tak perlu terikat dengan makna yang biasa bila ia misalnya menyaksikan ­tiang-tiang Yunani kuno di celah arsitektur kota, sebab tak ber­arti bangunan itu sebuah bank; atap merah nun di sana itu juga belum tentu berarti "Spanyol".
Bahkan pemaknaan selalu bisa berlangsung tanpa penerjemahan. Dalam film Sofia Coppola, Lost in Translation, dua orang asing di Tokyo menemukan dunia dalam dua sisi: yang sudah mereka kenal dan yang tidak. Tapi ternyata bukan alih bahasa yang menghubungkannya.
Dalam salah satu adegan kita lihat Bob Harris, yang datang ke kota itu untuk jadi bintang iklan bir, mendengar kalimat-­kalimat bahasa Jepang yang panjang diterjemahkan dengan begitu singkat tapi efektif: tiba-tiba kita sadar banyak kata yang bisa hilang begitu saja—tapi kita tetap mengerti apa yang dikehendaki. Dalam film itu kita lihat juga Charlotte, seorang perempuan muda yang baru menikah dan kecewa, menyentuhkan hidupnya kepada Bob; tapi di Tokyo, bukan bahasa yang menentukan komunikasi mereka, melainkan kesepian.
Tokyo: sebuah kesepian di ruang riuh. Seperti di tiap kota besar, di sini orang—the lonely crowd—merapat, seakan-akan menyadari bahwa rasa cemas adalah nasib, dan nasib adalah, seperti kata Chairil Anwar, "kesunyian masing-masing". Perjumpaan tak punya waktu yang pasti, tempat yang pasti.
It seems that we have met before, laughed before, loved before, but who knows where and when…. 
Itu satu adegan dalam Lost in Translation: seorang penyanyi jazz melagukan Where and When di bar NY di Shinjuku. Tapi itu bisa juga satu adegan siapa saja di keriuhan Shibuya. Atau bukan Shibuya. 
Goenawan Mohamad