Pasah

TEMPO Minggu, 31 Maret 2013

Demikianlah kisah hari Pasah
Ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
 
Cathedrale de Chartres, Sitor Situmorang


Kapankah alam tak diburu resah, dan hidup tak terdiri atas benturan yang sering ganjil?


Pertanyaan itu muncul ketika saya menemukan kembali sajak yang langka dalam sastra Indonesia ini tadi malam tapi tak hanya tadi malam.


Sajak Sitor Situmorang ini langka karena ia bertolak dari sebuah hari Paskah di Prancis, yang tak pernah ditulis penyair Indonesia sebelumnya, juga karena di sana bertaut (1) bentuk kuatren yang rapi, konvensional, dan (2) ekspresi yang tak lurus, nonlinear, bahkan campur aduk benturan yang sering ganjil.


Campur aduk: di dalamnya kita bertemu dengan seorang laki-laki pendatang yang guyah di kota yang "diburu resah", di sebuah katedral angker dari abad ke-12, seorang asing di negeri asing tapi merasa nyaman dengan keasingan itu: "Di bumi Perancis/Di bumi manis".


Bait pertama sajak ini melukiskan rasa harap-harap cemas tentang Tuhan ketika hari pucat bersalju:


Akan bicarakah Ia di malam sepi
Kala salju jatuh dan burung putih-putih



sementara kita tahu, ini sebuah sajak Paskah. Dan Paskah, apalagi di Prancis, bukan hari yang dingin. Paskah dalam bahasa Inggris disebut Easter, dari kata "Estre", nama dewi cahaya yang mulai bangkit.


Tampak, ke dalam sajak ini menyusup ingatan tentang sebuah momen lain, sebuah hari Natal, "kermis", di musim ketika pohon tak berdaun ketika di dinihari penduduk Chartres pulang dari misa:


Ketika malam itu sebelum ayam berkokok
Dan penduduk Chartres meninggalkan kermis
Tersedu ia dalam daunan malam rontok
Mengembara ingatan di hujan gerimis



Maka Natal dan Paskah pun berbaur, dengan kontrasnya, tapi juga dengan kemurungan yang sama ("tersedu"):


Menangis ia tersedu di hari Paskah
Ketika kami ziarah di Chartres di gereja
Doanya kuyu di warna kaca basah
Kristus telah disalib manusia habis kata



Pada titik ini, Sitor mengingatkan: Natal adalah berita baik, tapi dalam misteri dan kecemasan, dan Paskah menandai harapan kebangkitan dari kematian, tapi juga menandai apa yang suram. Kristus disalib, dan umatnya ("manusia") kehilangan makna ("habis kata").


Di sajak ini adegan-adegan memang saling memintas. Tiap momen bukan hanya satu thema. Cerita Paskah adalah cerita "Air mata resah" tapi juga "bunga-bunga merekah".


Dengan kata lain Paskah begitu pula tiap momen dalam hidup mengandung dikotomi yang tak menghilangkan salah satu sisinya. Air mata itu tak membuat kembang yang mekar lenyap. Tiap situasi menyimpan unsur yang lain, dan dengan begitu menafikan keutuhannya sendiri. Yang utuh murni tak pernah ada. Bahkan dengan latar belakang katedral yang sejak abad ke-12 jadi tempat ziarah itu, dosa tak sepenuhnya selesai dan iman tak seluruhnya bersih:


Demikianlah kisah hari Pasah
ketika seluruh alam diburu resah
Oleh goda, zinah, cinta dan kota
Karena dia, aku dan isteri yang setia



Maka malam itu di ranjang penginapan
Terbawa kesucian nyanyi gereja kepercayaan
Bersatu kutuk nafsu dan rahmat Tuhan
Lambaian cinta setia dan pelukan perempuan



Goda, zina, kota yang ruwet, kota yang asing semua itu mengharu biru. Berbareng dengan itu, rasa bimbang pun mengusik antara cinta kepada pacar dan ingatan kepada istri, antara perselingkuhan dan kesetiaan ("Hati tersibak antara zinah dan setia", demikian disebut dalam bait lain). Syahwat di ranjang penginapan itu juga berkecamuk, sementara nyanyian suci gereja masih terngiang-ngiang di telinga.


Tiap puisi yang indah mengandung khaos: sesuatu yang tak tersangka-sangka yang belum ditertibkan sebuah blueprint. Sebuah sajak yang kuat adalah sebuah rimba tropis yang tak hendak jadi taman-sari kerajaan. Ada sudut dan saat yang gelap yang tiap kali membangkitkan rasa terkesima dan ingin tahu.


Sebab itu puisi yang memukau bukanlah sebuah petuah, bukan khotbah di mana semua hal tegas, lempang seperti barisan tentara yang tak memberi peluang lain.


Dan bila sajak Sitor Situmorang ini memukau, karena ia menegaskan kembali peluang yang lebih luas itu: dalam kontradiksi dan campur aduk. Saya kira bukan kebetulan ia memakai kata "Pasah" dan tak hanya "Paskah". Kata "Pasah" lebih dekat ke istilah Ibrani, Pesach, yang mengingatkan kita kepada percampuran antara yang Yahudi dan yang Nasrani dalam sejarah ritual ini.


Dengan kata lain (sebagaimana kata Easter merupakan pembauran dengan kepercayaan yang bukan Kristen), tak ada iman yang berdiri sendiri, tanpa pendahulu, tanpa sistem kepercayaan yang beda. Mungkin itu sebabnya Sitor Situmorang, yang Protestan, tak merasa janggal menulis dari ruang sebuah katedral Katolik yang luput dari penghancuran oleh umat Huguenot ketika berkobar perang antar-agama di Prancis abad ke-16. Sang penyair tak merasa harus murni dalam kepercayaannya.

Kemurnian memang sering berarti kesatusisian. Banyak hal bertaut, juga berbenturan, dalam paradoks yang tak mudah dipahami:


Kasihku satu, Tuhannya satu
Hidup dan kiamat bersatu padu



Jangan-jangan manusia seperti puisi: sebuah kosmos, kesatuan yang tampak konvensional, tapi sebenarnya dibangun dalam ketidakmurnian yang penuh sengkarut. Ia melelahkan, ia tak membosankan.

Goenawan Mohamad